Pegunungan Tengger memang selalu menjadi pilihan menarik bagi
penikmat tracking. Satu-satunya gunung di Jawa yang butuh waktu
berhari-hari untuk mendakinya sampai puncak adalah Semeru, salah satu
anggota dari pegunungan Tengger.
Bromo, yang juga masuk dalam pegunungan Tengger, sebenarnya
merupakan sebentuk kecil dari Pegunungan Tengger. Dulu Tengger adalah
gunung tertinggi di Jawa dengan tinggi lebih dari 4000 meter dpl,
sekarang hanya tersisa Bromo yang masih aktif dengan ketinggian setengah
dari Tengger pada zaman dulu.
Ada satu bangunan unik yang apik berdiri di bawah kaki Bromo dan
Batok (tetangga Bromo), yaitu Pura yang megah sebagai tempat ibadah
teman-teman Hindu. Selain unik karena bentuknya, pura ini juga unik
karena letaknya yang cukup ekstrem, di tengah lautan Pasir, di mana
rumput pun enggan untuk tumbuh. Butuh menapaki sekian kilometer untuk
mendapati rumah penduduk dari Pura ini. Penduduk daerah ini sebagian
besar memang beragama Hindu. Konon, dulu ketika ajaran islam masuk ke
Jawa, pemeluk agama Hindu semakin tersisih sehingga terjadi hijrah
besar-besaran ke Bali dan pegunungan. Mungkin itu yang menjadi alasan
penduduk Bali sebagian besar memeluk Hindu, begitu pula dengan penduduk
Bromo.
Untuk mencapai Bromo, wisatawan kebanyakan mengambil jalan lewat
Probolinggo. Kalau tidak menggunakan kendaraan pribadi, kita bisa
menggunakan jasa Elf dari Probolinggo sampai Cemoro Lawang, yaitu
daerah tempat wisatawan berkumpul untuk menikmati Bromo keesokan
paginya.
Indie Way to Bromo
Dari Malang, tepatnya terminal Arjosari, carilah angkutan warna putih
yang menuju Tumpang. Turun di satu gang tempat kediaman Cak Nu, pemilik
persewaan Jeep dan Truk. Kalau pembaca yang budiman benar-benar mau ke
sana, hubungi kami untuk mendapat nomor Cak Nu. Berangkatlah sore hari
karena kalau kemalaman kemungkinan angkutan tidak ada lagi, kalau
kepagian jadi bingung mau ngapain di sana. perjalanan memakan waktu
sekitar 1 jam dengan biaya sekitar 4 ribu.
Rumah Cak Nu sering kali didatangi orang-orang yang tidak dikenalnya,
dengan motif sama: nebeng sampai Jemplangan atau bahkan Ranu Pane.
Saking sudah biasanya, Cak Nu menyediakan kamar khusus untuk tamu.
Sekitar pukul 7, truk Cak Nu berangkat. Tujuannya adalah mengantarkan
barang-barang pertanian ke satu tempat dekat Ranu Pane, danau yang
kontroversial itu. Untuk jasa nebeng sampai Jemplangan, biasanya
dikenakan biaya 25 ribu/penebeng (nego).
perjalanan truk memakan waktu 1 jam tepat. Satu jam yang diisi dengan
ratusan kali decakan kagum. Penebeng biasanya ditempatkan di belakang
truk sehingga bisa melihat dengan leluasa. Pemandangan yang sungguh
menyenangkan mata dan memantapkan doktrin bahwa manusia bukan apa-apa.
Hampir sepanjang perjalanan dijalani dengan mendaki. Pertama-tama, mata
kita disuguhi dengan sebuah desa yang hampir di setiap halaman rumahnya
ditanami dengan dua buah pohon apel.
Udara yang memang sudah dingin ditambah hempasan angin yang semakin
kencang akibat percepatan truk membuat tangan semakan kaku. Kaos,
sweater, dan jaket tebal yang serempak dipakai sekaligus pun tidak bisa
unjuk gigi. Tapi pemandangan berikutnya seakan menghangatkan semua itu.
Semeru terlihat jelas di sebelah kanan jalan. Indahnya gunung ini,
apalagi ketika asap tebal sedang diembuskannya setiap 20 menit sekali.
Di sebelah kiri, bermacam tanaman tertata rapi, simetris. Kebun kol
diselingi dengan jagung. Sekali-sekali daun bawang yang diselingi
jagung. Kadang ketiganya berkolaborasi dalam satu lahan menampakkan
formasi seperti upacara SD di masa kecil dulu. Mungkin ini yang disebut
dengan tumpang sari.
Secara menakjubkan, akan terlihat sebuah desa. Sebuah desa di
ketinggian sekitar 2000 meter dpl! Ngadas namanya. Ini merupakan desa
tertinggi dengan nomor urut dua setelah salah satu desa di Jayawijaya.
Desa ini bisa dikatakan cukup padat, bahkan lebih padat dari desa
sebelumnya yang halamannya diisi dengan pohon apel.
Dari Jemplangan, petualangan dimulai. Kita harus menuruni bukit yang
cukup curam dan licin. Harus hati-hati melewatinya karena ada beberapa
titik yang lebar tracknya hanya pas untuk 2 buah telapak kaki yang
dirapatkan, lengah sedikit, khatam sudah. Bukit ini dipenuhi dengan
rerumputan dan semak belukar sehingga mata masih bisa melihat jauh
berkilo-kilometer ke kanan, kiri, dan depan.
Pemandangan gunung
Telletubies (entah apa nama sebenarnya, tapi bentuknya mirip rumah
Telletubies, maka sebut saja demikian) sedapnya bukan main. Juga
pemandangan hamparan sabana di bawah sana, harum. Terkadang kita akan
menemui track yang putus karena sudah berhari-hari tidak ada orang yang
lewat. Inilah bagian paling sulit. Setelah menuruni bukit selama satu
jam, sampailah ke Bantengan, yaitu shelter yang bentuknya seperti
gazebo.
perjalanan selanjutnya adalah jalan datar yang beberapa kali dilewati
jeep. Di kanan kiri jalan, hamparan rerumputan indah melambai
bersahut-sahutan. Di kiri jalan juga terlihat gunung telletubies.
Walaupun pemandangan monoton hanya pada rerumputan dan gunung
teletubbies, tapi itu sama sekali tidak menimbulkan rasa bosan. Dari
Bantengan sampai perbatasan Sabana dengan lautan pasir memakan waktu
perjalanan 2 jam.
Perbatasan Sabana dan lautan pasir bisa dijadikan tempat
peristirahatan dan foto-foto. Pemandangan Bapak tua yang membawa rumput
hasil ngaritnya yang melebihi besar badannya menjadi hal yang biasa
terihat. Mungkin mereka membawa rumput dari kawasan Sabana. Sepertinya
untuk makanan Kuda. Maklum saja, Kuda menjadi alat transportasi utama di
Tengger.
Satu setengah jam berikutnya tidak ada jeep track seperti sebelumnya.
Tidak pula rerumputan. Sepertinya tidak ada rumput yang sanggup hidup
di lautan pasir. Lautan pasir luas yang ditaburi pecahan-pecahan batu.
Patokan perjalanannya adalah Cemoro Lawang yang ditandai dengan beberapa
tower. Mudah untuk mengidentifikasikannya. Pemandangannya berubah
menjadi padang pasir. Di sebelah kiri, kita akan ditemani oleh Gunung
Batok yang bersebelahan dengan Bromo. Sesekali kabut asap Bromo turun.
Baunya jelas seperti Belerang. Berbahaya kalau terlalu banyak
menghirupnya. Karena itulah disarankan untuk membatalkan pendakian
kalau asap mengepul.
Cemoro Lawang
Bermacam hotel yang ditawarkan di Cemoro Lawang. Harga tentu
beragam. Salah satu Hotel ada yang harga kamarnya 50 ribu dengan dua
buah dipan. Sepertinya itu yang termurah. Kalau uang berlebih, bisa juga
menginap di Long View, hotel terbaik di Cemoro Lawang.
Sebagai bekal di malam harinya, kita bisa membeli topi kupluk, sarung
tangan, dan syal. Jangan lupa menawar sebelum membeli. Sarung tangan
seharga 3 ribu. Kupluk dan syal masing-masing 7500. Bahkan ada juga
penyewaan jaket tebal, 25 ribu per hari.
Untuk mempersiapkan perjalanan keesokan paginya menuju Pananjakan
dan Bromo, kita harus mencari Jeep terlebih dahulu. Pananjakan adalah
nama perbukitan tertinggi yang mengelilingi Bromo, Batok, dkk. Mayoritas
wisatawan yang menginap di Cemoro Lawang menargetkan Pananjakan dan
Bromo. Di Pananjakan mencari view sun rise sedangkan di Bromo mencari
view kawah.
Sebetulnya kita tinggal membeli voucher seharga 275 ribu untuk
perjalanan satu Jeep ke Pananjakan dan Bromo. Isi Jeep maksimal 6
orang. Mudah sekali kalau kita pergi rombongan. Tinggal harga jeep 275
ribu dibagi 6 saja. Tapi kalau kita Cuma sendiri atau berdua, kalau mau
irit, kita harus mencari wisatawan lain yang bisa berangkat dengan kita
supaya biaya Jeep bisa dibagi banyak orang, mudah mencarinya kalau
weekend karena wisatawan bejibun, dan hamper semuanya mau ke Pananjakan
dan mau harga murah.
Akan banyak calo yang menawarkan sewa Jeep seharga 325 ribu/Jeep.
Lebih mahal memang, tapi ada servis tambahan dari sang calo untuk
membangunkan kita pukul 3 pagi, tentunya dengan memberitahukan letak
hotel kita terlebih dahulu. Ada lagi biaya wisatawan 6 ribu/ orang,
dipungut saat Jeep mau meluncur.
Tentang makanan, banyak pilihan yang tersedia. Nasi pecel dengan
telur di salah satu warung kecil dibandrol 5 ribu, nasi soto ayam 7500.
Yang lebih mewah juga banyak, tentu harga akan ikut mewah.
Sekedar saran, tidurlah lebih cepat supaya besok paginya bisa bangun
cepat. Jangan lupa mempersiapkan jaket, sarung tangan, kupluk, dan
sedikit makanan dari malam hari karena ketika bangun keesokan paginya,
itu adalah puncak perasaan dingin yang luar biasa. Berbicara saja
terbata-bata karena otot rahang tidak mau berdamai.
Pananjakan-Bromo
Pukul 3.15 si calo akan membangunkan kita. Jeep berkumpul di Cemoro
Indah. Kalau sudah bayar, Jeep bisa langsung jalan. Setengah jam
kira-kira perjalanan ke Pananjakan. Ramai sekali kalau weekend. Jangan
lupa hapalkan plat nomor Jeep dan tempat parkirnya. Repot kalau lupa
karena ada puluhan (mungkin ratusan) Jeep lain yang bodinya mirip semua.
Dari tempat parkir menuju view area, kira-kira 15 menit perjalanan.
Sebagian jalan aspal, sebagian lagi menaiki tangga. Sepanjang perjalanan
itu, banyak sekali pedagang. Ada yang menyewakan jaket. Pedagang
edelweiss. Penjual kupluk, sarung tangan, dan syal. Ada juga yang
menawarkan jasa ojeg sampai bawah tangga. Kios-kios kecil juga menjamur.
Kalau kurang beruntung, sunrise yang dikejar tidak tampak karena
tertutup awan. Namanya juga alam. Kalau mau aman, datanglah ke Bromo
ketika musim kemarau karena langit akan bersih. Tapi siap-siap dengan
suhu yang lebih mencekam. Bisa dua kali lipat lebih dingin. Memang aneh
suhu di sini, berbanding terbalik dengan cuaca.
Biaya Jeep itu sudah termasuk mampir di Bromo. Tempat pemberhentian
Jeep bukan di bawah kaki Bromo, tapi masih lumayan jauh. Jeep tidak bisa
masuk sampai kaki Bromo karena bisa terjadi adu jotos dengan penyewa
jasa antar dengan kuda. Ini masalah perut, susah.
Sejak turun dari Jeep sampai mencapai puncak Bromo butuh waktu
perjalanan 30 – 45 menit. Sebagian jalan pasir yang menanjak, sebagian
lagi tangga. Yang tidak menyenangkan adalah sepanjang perjalanan menuju
bawah tangga, banyak kotoran kuda. Ratusan kuda berseliweran
bolak-balik tak henti-hentinya. Ada beberapa kuda yang bagian
belakangnya dipasang semacam kain sehingga kotoran tidak terbuang ke
jalan. Tapi hanya beberapa saja yang demikian.
Kenikmatan pemandangan mulai terasa ketika menaiki tangga. Di sebelah
kanan, jelas terlihat gunung Batok. Di sebelah kiri tampak lautan
pasir. Di bawah tampak Pura megah yang tertata sangat apik.
Sampai di atas, kita bisa puas memandang ke sekeliling. Bonusnya
adalah pemandangan kawah Bromo. Asap putih masih tak henti-hentinya
keluar dari beberapa titik di kawah menandakan Bromo masih aktif.
Tidak ada apa-apa di dalam kawah, hanya kumpulan pasir yang
membentuk daratan kecil tidak penuh dihiasi dengan beberapa lubang yang
lebih mirip jurang tanpa terlihat dasarnya. Samar-samar terlihat di
dasar kawah tersebut ada susunan batu yang membentuk satu tulisan.
KIPPALA. Sepertinya nama sekumpulan pecinta alam. Entah bagaimana mereka
bisa sampai di bawah sana. Entah bagaimana mereka melewati
jurang-jurang tanpa dasar tersebut. Mengambil risiko menghirup asap
putih berbau belereng itu. Hebat.
Setelah puas dengan perjalanan itu, tidak ada jalan lain, harus
menuruni tangga melelahkan itu lagi, mengarungi jalanan pasir berkotoran
kuda itu lagi, baru sampai di parkiran Jeep.
Dengan ritmik perjalanan seperti itu, kira-kira akan sampai di Cemoro
Lawang lagi pukul 9. Jadi, total perjalanan ke Pananjakan dan Bromo
memakan waktu 5 jam. Cukup melelahkan, tapi menyenangkan.
Elf menuju Probolinggo selalu siaga di Cemoro Lawang. Pemandangan
selama perjalanan di Elf ini masih menyenangkan. Masih dipenuhi dengan
kebun kol yang berseling dengan jagung dan bawang. Udara juga masih
sejuk.
Dari Probolinggo, ada bis non-AC ke Malang (Arjosari) dengan biaya
14 ribu. Kalau mau langsung pulang ke Jakarta silakan cari lagi angkutan
yang menuju stasiun Malang.
Sumber: backpackinmagazine.com
Saturday, March 29, 2014
Rute dan Peta Wisata Bromo: Ke Penanjakan Bromo Yuk!!
10:52 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment