Saturday, March 29, 2014

Rute dan Peta Wisata Bromo: Ke Penanjakan Bromo Yuk!!

10:52 AM

Pegunungan Tengger memang selalu menjadi pili­han menarik bagi penikmat tracking. Satu-satunya gunung di Jawa yang butuh waktu berhari-hari untuk mendakinya sampai puncak adalah Semeru, salah satu anggota dari pegunungan Tengger.

Bromo, yang juga masuk dalam pegunungan Teng­ger, sebenarnya merupakan sebentuk kecil dari Pegunungan Tengger. Dulu Tengger adalah gunung tertinggi di Jawa dengan tinggi lebih dari 4000 me­ter dpl, sekarang hanya tersisa Bromo yang masih aktif dengan ketinggian setengah dari Tengger pada zaman dulu.

Ada satu bangunan unik yang apik berdiri di bawah kaki Bromo dan Batok (tetangga Bromo), yaitu Pura yang megah sebagai tempat ibadah teman-teman Hindu. Selain unik karena bentuknya, pura ini juga unik karena letaknya yang cukup ekstrem, di tengah lautan Pasir, di mana rumput pun enggan untuk tumbuh. Butuh menapaki sekian kilometer untuk mendapati rumah penduduk dari Pura ini. Penduduk daerah ini sebagian besar memang beragama Hin­du. Konon, dulu ketika ajaran islam masuk ke Jawa, pemeluk agama Hindu semakin tersisih sehingga terjadi hijrah besar-besaran ke Bali dan pegunun­gan. Mungkin itu yang menjadi alasan penduduk Bali sebagian besar memeluk Hindu, begitu pula dengan penduduk Bromo.

Untuk mencapai Bromo, wisatawan kebanyakan mengambil jalan lewat Probolinggo. Kalau tidak menggunakan kendaraan pribadi, kita bisa meng­gunakan jasa Elf dari Probolinggo sampai Cemoro Lawang, yaitu daerah tempat wisatawan berkumpul untuk menikmati Bromo keesokan paginya.

Indie Way to Bromo
Dari Malang, tepatnya terminal Arjosari, carilah angkutan warna putih yang menuju Tumpang. Turun di satu gang tempat kediaman Cak Nu, pemilik persewaan Jeep dan Truk. Kalau pembaca yang budiman benar-benar mau ke sana, hubungi kami untuk mendapat nomor Cak Nu. Berangkatlah sore hari karena kalau kemalaman kemungkinan ang­kutan tidak ada lagi, kalau kepagian jadi bingung mau ngapain di sana. perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam dengan biaya sekitar 4 ribu.
Rumah Cak Nu sering kali didatangi orang-orang yang tidak dikenalnya, dengan motif sama: nebeng sampai Jemplangan atau bahkan Ranu Pane. Sak­ing sudah biasanya, Cak Nu menyediakan kamar khusus untuk tamu.

Sekitar pukul 7, truk Cak Nu berangkat. Tujuannya adalah mengantarkan barang-barang pertanian ke satu tempat dekat Ranu Pane, danau yang kontro­versial itu. Untuk jasa nebeng sampai Jemplangan, biasanya dikenakan biaya 25 ribu/penebeng (nego).

perjalanan truk memakan waktu 1 jam tepat. Satu jam yang diisi dengan ratusan kali decakan kagum. Penebeng biasanya ditempatkan di belakang truk sehingga bisa melihat dengan leluasa. Peman­dangan yang sungguh menyenangkan mata dan memantapkan doktrin bahwa manusia bukan apa-apa. Hampir sepanjang perjalanan dijalani dengan mendaki. Pertama-tama, mata kita disuguhi dengan sebuah desa yang hampir di setiap halaman rumah­nya ditanami dengan dua buah pohon apel.
Udara yang memang sudah dingin ditambah hemp­asan angin yang semakin kencang akibat perce­patan truk membuat tangan semakan kaku. Kaos, sweater, dan jaket tebal yang serempak dipakai sekaligus pun tidak bisa unjuk gigi. Tapi pemandan­gan berikutnya seakan menghangatkan semua itu. Semeru terlihat jelas di sebelah kanan jalan. Indah­nya gunung ini, apalagi ketika asap tebal sedang diembuskannya setiap 20 menit sekali.

Di sebelah kiri, bermacam tanaman tertata rapi, simetris. Kebun kol diselingi dengan jagung. Sekali-sekali daun bawang yang diselingi jagung. Kadang ketiganya berkolaborasi dalam satu lahan menam­pakkan formasi seperti upacara SD di masa kecil dulu. Mungkin ini yang disebut dengan tumpang sari.

Secara menakjubkan, akan terlihat sebuah desa. Sebuah desa di ketinggian sekitar 2000 meter dpl! Ngadas namanya. Ini merupakan desa tertinggi dengan nomor urut dua setelah salah satu desa di Jayawijaya. Desa ini bisa dikatakan cukup padat, bahkan lebih padat dari desa sebelumnya yang halamannya diisi dengan pohon apel.

Dari Jemplangan, petualangan dimulai. Kita harus menuruni bukit yang cukup curam dan licin. Harus hati-hati melewatinya karena ada beberapa titik yang lebar tracknya hanya pas untuk 2 buah tela­pak kaki yang dirapatkan, lengah sedikit, khatam sudah. Bukit ini dipenuhi dengan rerumputan dan semak belukar sehingga mata masih bisa melihat jauh berkilo-kilometer ke kanan, kiri, dan depan.

 Pemandangan gunung Telletubies (entah apa nama sebenarnya, tapi bentuknya mirip rumah Telletubies, maka sebut saja demikian) sedapnya bukan main. Juga pemandangan hamparan sabana di bawah sana, harum. Terkadang kita akan menemui track yang putus karena sudah berhari-hari tidak ada orang yang lewat. Inilah bagian paling sulit. Set­elah menuruni bukit selama satu jam, sampailah ke Bantengan, yaitu shelter yang bentuknya seperti gazebo.

perjalanan selanjutnya adalah jalan datar yang beberapa kali dilewati jeep. Di kanan kiri jalan, hamparan rerumputan indah melambai bersahut-sahutan. Di kiri jalan juga terlihat gunung telletubies. Walaupun pemandangan monoton hanya pada rerumputan dan gunung teletubbies, tapi itu sama sekali tidak menimbulkan rasa bosan. Dari Ban­tengan sampai perbatasan Sabana dengan lautan pasir memakan waktu perjalanan 2 jam.

Perbatasan Sabana dan lautan pasir bisa dijadikan tempat peristirahatan dan foto-foto. Pemandangan Bapak tua yang membawa rumput hasil ngaritnya yang melebihi besar badannya menjadi hal yang biasa terihat. Mungkin mereka membawa rumput dari kawasan Sabana. Sepertinya untuk makanan Kuda. Maklum saja, Kuda menjadi alat transportasi utama di Tengger.

Satu setengah jam berikutnya tidak ada jeep track seperti sebelumnya. Tidak pula rerumputan. Sep­ertinya tidak ada rumput yang sanggup hidup di lautan pasir. Lautan pasir luas yang ditaburi peca­han-pecahan batu. Patokan perjalanannya adalah Cemoro Lawang yang ditandai dengan beberapa tower. Mudah untuk mengidentifikasikannya. Pe­mandangannya berubah menjadi padang pasir. Di sebelah kiri, kita akan ditemani oleh Gunung Batok yang bersebelahan dengan Bromo. Sesekali kabut asap Bromo turun. Baunya jelas seperti Belerang. Berbahaya kalau terlalu banyak menghirupnya. Kar­ena itulah disarankan untuk membatalkan penda­kian kalau asap mengepul.

Cemoro Lawang
Bermacam hotel yang ditawarkan di Cemoro La­wang. Harga tentu beragam. Salah satu Hotel ada yang harga kamarnya 50 ribu dengan dua buah dipan. Sepertinya itu yang termurah. Kalau uang berlebih, bisa juga menginap di Long View, hotel terbaik di Cemoro Lawang.
Sebagai bekal di malam harinya, kita bisa membeli topi kupluk, sarung tangan, dan syal. Jangan lupa menawar sebelum mem­beli. Sarung tangan seharga 3 ribu. Kupluk dan syal masing-masing 7500. Bahkan ada juga penyewaan jaket tebal, 25 ribu per hari.

Untuk mempersiapkan perjalanan keesokan pag­inya menuju Pananjakan dan Bromo, kita harus mencari Jeep terlebih dahulu. Pananjakan adalah nama perbukitan tertinggi yang mengelilingi Bromo, Batok, dkk. Mayoritas wisatawan yang menginap di Cemoro Lawang menargetkan Pananjakan dan Bromo. Di Pananjakan mencari view sun rise se­dangkan di Bromo mencari view kawah.

Sebetulnya kita tinggal membeli voucher seharga 275 ribu untuk perjalanan satu Jeep ke Pananja­kan dan Bromo. Isi Jeep maksimal 6 orang. Mudah sekali kalau kita pergi rombongan. Tinggal harga jeep 275 ribu dibagi 6 saja. Tapi kalau kita Cuma sendiri atau berdua, kalau mau irit, kita harus men­cari wisatawan lain yang bisa berangkat dengan kita supaya biaya Jeep bisa dibagi banyak orang, mu­dah mencarinya kalau weekend karena wisatawan bejibun, dan hamper semuanya mau ke Pananjakan dan mau harga murah.

Akan banyak calo yang menawarkan sewa Jeep seharga 325 ribu/Jeep. Lebih mahal memang, tapi ada servis tambahan dari sang calo untuk mem­bangunkan kita pukul 3 pagi, tentunya dengan memberitahukan letak hotel kita terlebih dahulu. Ada lagi biaya wisatawan 6 ribu/ orang, dipungut saat Jeep mau melun­cur.

Tentang makanan, banyak pilihan yang tersedia. Nasi pecel dengan telur di salah satu warung kecil dibandrol 5 ribu, nasi soto ayam 7500. Yang lebih mewah juga ban­yak, tentu harga akan ikut mewah.
Sekedar saran, tidurlah lebih cepat supaya besok paginya bisa bangun cepat. Jangan lupa mempersiapkan jaket, sarung tangan, kupluk, dan sedikit makanan dari malam hari kar­ena ketika bangun keesokan paginya, itu adalah puncak perasaan dingin yang luar biasa. Berbicara saja terbata-bata karena otot rahang tidak mau berdamai.

Pananjakan-Bromo
Pukul 3.15 si calo akan membangunkan kita. Jeep berkumpul di Cemoro Indah. Kalau sudah bayar, Jeep bisa langsung jalan. Setengah jam kira-kira perjalanan ke Pananjakan. Ramai sekali kalau weekend. Jangan lupa hapalkan plat nomor Jeep dan tempat parkirnya. Repot kalau lupa karena ada puluhan (mungkin ratusan) Jeep lain yang bodinya mirip semua.

Dari tempat parkir menuju view area, kira-kira 15 menit perjalanan. Sebagian jalan aspal, sebagian lagi menaiki tangga. Sepanjang perjalanan itu, banyak sekali pedagang. Ada yang menyewakan jaket. Pedagang edelweiss. Penjual kupluk, sarung tangan, dan syal. Ada juga yang menawarkan jasa ojeg sampai bawah tangga. Kios-kios kecil juga menjamur.

Kalau kurang beruntung, sunrise yang dikejar tidak tampak karena tertutup awan. Namanya juga alam. Kalau mau aman, datanglah ke Bromo ketika musim kemarau karena langit akan bersih. Tapi siap-siap dengan suhu yang lebih mencekam. Bisa dua kali lipat lebih dingin. Memang aneh suhu di sini, berbanding terbalik dengan cuaca.

Biaya Jeep itu sudah termasuk mampir di Bromo. Tempat pemberhentian Jeep bukan di bawah kaki Bromo, tapi masih lumayan jauh. Jeep tidak bisa masuk sampai kaki Bromo karena bisa terjadi adu jotos dengan penyewa jasa antar dengan kuda. Ini masalah perut, susah.

Sejak turun dari Jeep sampai mencapai puncak Bromo butuh waktu perjalanan 30 – 45 menit. Sebagian jalan pasir yang menanjak, sebagian lagi tangga. Yang tidak menyenangkan adalah sepan­jang perjalanan menuju bawah tangga, banyak ko­toran kuda. Ratusan kuda berseliweran bolak-balik tak henti-hentinya. Ada beberapa kuda yang bagian belakangnya dipasang semacam kain sehingga ko­toran tidak terbuang ke jalan. Tapi hanya beberapa saja yang demikian.

Kenikmatan pemandangan mulai terasa ketika menaiki tangga. Di sebelah kanan, jelas terlihat gunung Batok. Di sebelah kiri tampak lautan pasir. Di bawah tampak Pura megah yang tertata sangat apik.

Sampai di atas, kita bisa puas memandang ke sekeliling. Bonusnya adalah pemandangan kawah Bromo. Asap putih masih tak henti-hentinya keluar dari beberapa titik di kawah menandakan Bromo masih aktif.

Tidak ada apa-apa di dalam kawah, hanya kum­pulan pasir yang membentuk daratan kecil tidak penuh dihiasi dengan beberapa lubang yang lebih mirip jurang tanpa terlihat dasarnya. Samar-samar terlihat di dasar kawah tersebut ada susunan batu yang membentuk satu tulisan. KIPPALA. Sepertinya nama sekumpulan pecinta alam. Entah bagaimana mereka bisa sampai di bawah sana. Entah bagaimana mereka melewati jurang-jurang tanpa dasar terse­but. Mengambil risiko menghirup asap putih berbau belereng itu. Hebat.

Setelah puas dengan perjalanan itu, tidak ada jalan lain, harus menuruni tangga melelahkan itu lagi, mengarungi jalanan pasir berkotoran kuda itu lagi, baru sampai di parkiran Jeep.
Dengan ritmik perjalanan seperti itu, kira-kira akan sampai di Cemoro Lawang lagi pukul 9. Jadi, total perjalanan ke Pananjakan dan Bromo memakan waktu 5 jam. Cukup melelahkan, tapi menyenang­kan.

Elf menuju Probolinggo selalu siaga di Cemoro Lawang. Pemandangan selama perjalanan di Elf ini masih menyenangkan. Masih dipenuhi dengan ke­bun kol yang berseling dengan jagung dan bawang. Udara juga masih sejuk.


Dari Probolinggo, ada bis non-AC ke Malang (Ar­josari) dengan biaya 14 ribu. Kalau mau langsung pulang ke Jakarta silakan cari lagi angkutan yang menuju stasiun Malang.

Sumber: backpackinmagazine.com

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Rute dan Peta Menuju Tempat Wisata. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top